Flexing di Media Sosial: Peluang / Ancaman untuk Brand Anda?

Fenomena flexing atau memamerkan barang branded, pengalaman eksklusif, hingga gaya hidup mewah—sudah jadi bagian dari dinamika media sosial di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Platform seperti Instagram dan TikTok menjadi panggung utama bagi pengguna untuk menunjukkan pencapaian, koleksi barang mahal, atau aktivitas lifestyle yang dianggap “wah”. Tak heran, perilaku ini pun akhirnya membentuk budaya konsumsi baru di masyarakat urban.

Kenapa Flexing Begitu Populer?

Flexing di Media Sosial

Flexing berakar dari keinginan manusia untuk diakui, mendapatkan validasi, dan masuk ke circle tertentu. Saat seseorang memamerkan barang branded atau pengalaman eksklusif, ada kepuasan personal dan efek sosial yang didapat: mereka merasa lebih eksklusif dan “berbeda”.

Dari perspektif brand, tren ini sebenarnya adalah peluang. Konsumen yang suka flexing cenderung mencari produk yang mampu menaikkan status sosialnya. Jika brand mampu membangun aura eksklusivitas baik lewat produk yang limited, harga premium, atau akses komunitas khusus produk tersebut bisa otomatis masuk ke daftar wishlist pelanggan.

Contohnya bisa dilihat pada brand fashion, kosmetik, gadget, atau bahkan makanan kekinian. Produk yang sulit didapat atau punya cerita unik seringkali menjadi bahan flexing di media sosial. Tidak hanya mendorong penjualan, ini juga berpotensi menciptakan efek viral karena konten flexing mudah menyebar dan mengundang interaksi.

Risiko dan Tantangan Flexing untuk Brand

Meski menawarkan peluang besar, strategi branding berbasis flexing tetap mengandung risiko. Hype yang dibangun secara berlebihan bisa bersifat sesaat. Produk Anda memang bisa viral, tetapi jika tidak ada value jangka panjang atau experience yang otentik, konsumen juga bisa cepat beralih ke tren baru.

Selain itu, flexing culture juga bisa menciptakan eksklusivitas semu yang berbahaya. Jika brand terkesan terlalu “elitis” atau mengabaikan segmen konsumen loyal yang tidak suka pamer, citra perusahaan bisa menjadi kurang ramah. Bahkan, dalam beberapa kasus, brand yang terlalu sering didorong untuk flexing rentan terkena backlash—misal dianggap tidak sensitif dengan isu sosial atau terlalu menonjolkan kemewahan di masa sulit.

Cara Brand Menyikapi Flexing Culture

Jadi, apakah flexing hanya sekadar hype atau peluang nyata? Kuncinya ada pada strategi brand.

  • Jangan hanya menjual produk, tapi juga cerita dan nilai: Brand perlu membangun narasi kuat di balik produk. Misalnya, mengapa produk ini limited edition, siapa yang ada di balik pembuatannya, atau apa value yang ingin diangkat.

  • Manfaatkan komunitas: Dorong pelanggan untuk menjadi bagian dari komunitas, bukan sekadar jadi konsumen yang “pamer”. Komunitas yang solid akan membantu brand bertahan lebih lama dibanding sekadar viral di timeline.

  • Jaga inklusivitas: Walaupun menawarkan eksklusivitas, pastikan brand tetap mengedepankan keterbukaan dan bisa diakses oleh berbagai kalangan.

Cara Brand Menyikapi Flexing Culture

Flexing di media sosial memang bisa menjadi peluang emas untuk brand. Namun, jangan sampai strategi ini justru jadi bumerang. Bangun eksklusivitas yang sehat, dorong komunitas, dan jangan lupa ciptakan value yang sustainable. Dengan begitu, brand Anda tak hanya viral, tapi juga tetap dicintai konsumen dalam jangka panjang.

More than 4 years of experience as a Social Media Specialist, expert in social media optimization and developing strategies to increase engagement.